Pecel lele seolah menjadi menu wajib setiap pulang rumah di Tuban. Dengan ditemani sambel terasi dan daun kemangi, selalu menimbulkan sensasi yang berbeda meski di Semarang banyak ditemui warung pecel lele sejenis. Pedasnya sambel terasi..tekstur dagingnya pemirsa..kremes2 hehe..bikin lidah bergoyang, pedesen ngoweh-ngoweh..keringete ndrodhos.
Ga perlu repot beli lele di pasar, cukup mancing di kolam belakang rumah. Di beteti sendiri, digoreng sendiri, ngulek sambel sendiri dan dimakan sendiri hehe..ahh emang semua harus dikerjain sendiri.
Meski terlahir dengan Lima bersaudara laki-laki semua (Pendowo Limo orang Jawa bilang) tapi sejak kecil orang tua mengajarkan kemandirian sejak dini dalam berbagai hal, contohnya saja urusan dapur. Ketika terdengar panggilan “Sholah-sholah” (istilah orang desa ketika ada panggilan lewat speaker dari “Langgar” dan masjid sebagai tanda telah tiba waktu sholat Shubuh), siapapun diantara kami langsung bergegas menuju “Pawon” untuk sekedar menyalakan kompor atau “Engkas Geni” (menyalakan api) di “pawon” klo persediaan minyak tanah habis (Pawon mempunyai dua arti, Pawon sebagai sebutan untuk ruang dapur dan pawon sebagai tungku yang terbuat dari tanah lempung). Sampe hari ini pun kebiasaan itu masih terbawa. Jadi jangan heran klo semua anak laki-laki di keluargaku bisa “megang” irus, enthong, wajan, dandang, layah, panci dsb. Eits ga cuma asal megang, tapi lihai juga memakainya untuk urusan masak-memasak. Mau bukti?datang aja ke rumah hee
No comments:
Post a Comment